Cerita II - Minum Tehmu
Jumat pagi sekitar pukul 05.36 aku terbangun, ah dibangunkan lebih tepatnya, untuk bergegas melaksanakan kegiatan rutin ritual keagamaanku. Bangun pada jam tersebut sudah merupakan keterlambatan sebenarnya namun ada dispensasi pahala konon katanya.
Sebelumnya akan coba saya urai bagaimana proses kebangkitanku dari kematian yang sementara alias tidurku. Kira-kira tidurku memiliki posisi favorit yaitu miring menghadap dinding kamar. Dari kebiasaan menghadap dinding sesekali mempengaruhi kualitas mimpi dalam tidurku.
Baca juga : Cerita I - Membual
Ya! dinding memiliki banyak makna salah satunya yaitu bisa menjadi penghalang apapun. Missal dalam kalimat ‘kulihat memang sepertinya singgahsana didalam hatimu tidak penghuninya alias kosong, namun aku merasakan seperti ada dinding penghalang dan ya itu benar. Ternyata bayangan masalalu kelamlah yang menjelma menjadi dinding tersebut’. Begitulah kira-kira sedikit penjelasan terkait dinding yang dimaksud.
Selapas ritual, masih dalam koridor rutin
yaitu mengeluarkan kendaraan roda duaku yang sebelum nantinya siap dikendarai
sebelumnya harus dipanaskan mesinnya terlebih dahulu. Ohiya !!! hirup
dalam-dalam udara segar pada pagi hari jangan sampai luput.
Tak kusangka jam menunjukkan pukul 06.30 yang menurutku waktu yang ideal untuk menikmati sesuatu seperti teh ataupun kopi dan jangan lupa gosok gigi terlebih dahulu biar afdol, begitu kira-kira. Agar menikmatinya bisa lebih topcer, piranti ngopi ngetehku haruslah diperhatikan dengan baik-baik.
Baca juga : Cerita III - Simulacras
Gelas, ya gelas menjadi piranti luar biasa penunjang kenikmatan yang tiada duanya. Aku memilih gelas dengan corak yang berbeda sesuai hari dan weton-wetonnya. Oke singkat cerita setelah minuman andalan jadi, lanjut geser ketempat favorit yaitu pinggir kolam ajaib beserta koi-koi akrobatik guna menambah nuansa ngopitable dan ngetehable banget. Ketika sudah dalam posisi tersebut, hegemoni apapun sudah tak bisa mendobrak kenikmatanku dan mungkin inilah yang dimaksud dengan subaltern nya Gramsci.
Ngomong-ngomong mengenai hegemoni dan distraksi, sebenarnya ada yang satu mampu membobol kenikmatanku, yaitu bayang-bayang skripsi yang setiap detik udara keluar masuk paru-paruku, bayangan tersebut selalu saja mengikuti. Bayangan tersebut sangat sengaja direduksi yang ahirnya menjadi bias. Oke, seraya mulut sibuk meresapi rasa dari minumanku, tanganku sibuk melakukan kegiatan linting-melinting yang kemudian dilanjut dengan proses pembakaran kenikmatan selanjutnya tak lain adalah merokok dan begitu seterusnya sampai kira-kira beberapa tanggung jawab menanti untuk dijamah diriku.
Sekitar pukul 10.00 pagi kendaraanku telah siap tancap gas dan tak pakai lama langsung kuajak Rambo menyapa jalan raya membelah kota. Tujuan kali ini adalah kampus sejuta derita. Ada beberapa janji dengan kawan-kawan angkatan yang sudah direncanakan beberapa hari yang lalu. Tetibanya dilokasi yang sudah disepakati, setibanya di kampus sejuta derita, ternyata aku member terakhir yang datang dan bisa dibilang terlambat (gara-gara Rambo berjalan seperti siput).
Berbicara mengenai kampus aku rasa masing-masing dari kita mungkin sudah muak dsengan kondisi yang seperti ini yang mana kampus yang idealnya dianalogikan seperti laboratorium, nyatanya jauh dari istilah tersebut. Kampus hanya seperti warung-warung kopi kontemporer banyak sampahnya ketimbang dagingnya. Sampah yang kumaksud adalah lingkaran-lingakaran yang diciptakan yang kemudian menjadi ekosistem hanya ada aib-aib seseorang, obrolan mengenai selangkangan, dan raga yang bertemu namun tidak dengan hati dan pikiran para pemiliknya.
Namun aku percaya masih ada beberapa subaltern yang masih hidup dan harapannya dapat menjadi penyeimbang ketimpangan tersebut. Seraya aku menceritakan fenomena ini, akupun teringat seorang kawan pernah berkata “daripada terlalu lama mengutuk kegelapan, kenapa tidak kau menjadi lilin saja” sepenggal kalimat yang membutku malu atas keluhan-keluahanku diatas.
Masih Lanjut,
Semoga harimu menyenangkan ^_^
No comments:
Post a Comment