Sundul Sundulan
Sebatang Pertama
Indonesia menjadi salah satu negara dengan konsumsi rokok terbesar didunia. Sudah banyak juga brand-brand rokok yang sudah lama berdiri bahkan puluhan tahun. Untuk rokok sendiri, dibagi berbagai macam kategori dan golongannya. Menurut JDIH (jaringan dokumentasi dan informasi hukum) Kemenkeu, Rokok dikategorikan menjadi beberapa, seperti :
- SKM (sigaret kretek mesin), dalam pelintingannya, pencampuran cengkih dan penempelan pita cukai seluruhnya dibuat oleh mesin. Contohnya; gudang garam, sampoerna mild, clasmild dan lain sejenisnya.
- SKT (sigaret kretek tangan), dalam proses produksi dan pencampuran cengkihnya tanpa menggunakan mesin. Contohnya; Sampoerna hijau, djarum coklat, dji sam soe dan sejenisnya.
- SPM (sigaret putih mesin), pembuatannya tanpa dicampuri cengkiih dan seluruh pelintingannya menggunakan mesin. Contohnya; camel, marlboro, country dan sejenisnya.
- Tingwe (linting dewe), Kearifan lokal yang diproduksi dan dikonsumsi pribadi.
Rokok pabrikan dalam kategori diatas maupun yang tingwe (liinting dewe), telah masif dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah menyadari hal tersebut, dan akhirnya mengeluarkan regulasi yang mengikatnya.
Dengan dasar bahwa rokok membahayakan, berbagai jenis propaganda dilakukan oleh negara untuk menekan konsumen rokok. Padahal salah satu pendapatan terbesar negara dan daerah provinsi adalah pajak dan cukai rokok.
Agak aneh kiranya, terdapat kontradiksi. Sebab dalam dunia pertembakauan duniawi, juga terdapat istilah pajak rokok dan tarif cukai rokok. Dimana hal tersebut yang menjadi sumber pungutan Negara dan Daerah Provinsi.
Baca juga : Patah satu tak kunjung tumbuh
Pajak rokok adalah 11 persen dari tarif cukai rokok, dimana nilai cukai rokok adalah 40 persen harga perbatang rokok. Pajak rokok menjadi sumber pendapatan pemerintah daerah provinsi dari cukai rokok yang dipungut negara berdasarkan harga jual.
Misalnya harga rokok perbatangnya Rp.2000, maka cukai rokok dipungut Negara adalah 40% x Rp.2000 = Rp.800 dari produsen rokok. Pajak rokok dipungut berdasarkan 11% x Rp.800 (cukai tarif perbatang) = Rp.88 harus disetorkan produsen.
Meski keduanya berbeda alokasi, pemungutan dilakukan bersama oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) berdasarkan pasal 27 UU Nomor 28/2009. Setelah itu baru DJBC menyalurkan pungutan ke kas umum provinsi. Eumm.
Batang ketiga
Yang akhir-akhir ini ramai adalah keputusan kementrian keuangan untuk menaikan 10 hingga 15 persen cukai rokok pada awal tahun ini. Peraturan tersebut tertuang dalam peraturan kemenkeu nomor 191 mengenai tarif cukai tembakau (hitung-hitungan diatas bisa jadi berubah).
Keputusan tersebut berdasarkan survey yang dipromotori kemenkeu, yang menyimpulkan bahwa rokok menjadi bahan pokok yang paling sering dibeli setelah beras. Dalih korelasinya adalah menaruh sesuatu yang seharusnya sekunder menjadi primer oleh sebagian masyarakat kelas bawah.
Baca juga : Buang sampah pada tempatnya (abis makan jangan lupa ngutang)
Kebijakan kemenkeu disangkut pautkan dengan riset yang dilakukan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UI. Bahkan sang ketua penelitian mengatakan bahwa kemenkeu mengadopsi penelitian ini menjadi salah satu dasar kebijakan.
Penelitian tentang korelasi rokok dan stunting, yang melibatkan 7000 data orang tua dan anak beberapa dekade lamanya. Berdasarkan data yang didapat dari Family life survey, dan penelitian yang mereka lakukan langsung di Demak, mereka menyimpulkan bahwa kebanyakan anak stunting berasal dari keluarga perokok. Dianggapnya banyak keputusan-keputusan kurang rasional yang lebih mementingak rokok ketimbang gizi anak-anak mereka. Eumm? Hahh? Masa sih?
Batang Keempat
Dari survey-survey yang kemudian melahirkan regulasi baru, terciptalah apa yang terjadi dan dirasakan perokok sekarang. MUMET. Apakah benar masalah stunting atau yang lainya hanya karena rokok? Apa iya kawan-kawan?.
Sebenarnya banyak isu yang mencuat atas polemik ini. Seperti yang ramai di sosial media mengenai kebijakan pajak dan cukai yang diindikasikaan punya maksud tertentu. Statement pro dan kontra berterbangan bebas dimana-mana.
Namun sepertinya sampai disini saja kawan-kawan, sebab MUMET. Kegiatan tulis-menulis butuh berbatang-batang tembakau. Amunisi saya selesai di batang keempat. Rokok mahal. Entah mahal, atau karena sayanya yang miskin.
*Bagi yang mengetahui masalah ini lebih detail silakan mengkoreksi.
Aku sayang kalian ^_^
No comments:
Post a Comment