Friday, March 17, 2023

Ada Apa Dengan Cinta? (manipulasi moralitas mengkontruksi individu)

pict by : pixabay-GDJ

Ada Apa Dengan Cinta?

Sebagai makhluk sosial, saling terhubung satu sama lain menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Perantara keterhubungan tersebut bisa melalui banyak dimensi seperti, perniagaan, komunitas fetis, sampai ke dunia simulasi (virtual).

Dengan berbagai macam karakter masing-masing individu, ketidak cocokan atau kesalah pahaman menjadi hal lazim. Tak jarang, bermula pada ketidak cocokan dan kesalah pahaman berubah menjadi sebuah malapetaka. Malapetaka pertengkaran antar individu.

Untuk meghindari hal tersebut, peradaban menghasilkan sebuah regulasi tertulis dan tak tertulis yaitu hukum etika dan moral. Sebuah sistem semacam pengontrol stabilitas sosial. Biasanya bersumber pada agama, atau kebudayaan tertentu. (meskipun bisa saling berbenturan).

Baca juga : Individu versus everybadeh

Secara umum moral merupakan pengambilan nilai mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik. Yang menarik dalam pengertian ini adalah moral sama persis dengan konsepsi etika.

Moral berasal dari kata "mos", dalam bentuk jamaknya "mores" yang berarti "kebiasaan". Dan etika berasal dari bahasa yunani "ethos", yang dalam bentuk jamaknya "ta etha", yang berarti sama dengan moral yaitu "kebiasaan". 

Moral dan etika memang tidak bisa dipisahkan karena keduanya memiliki pengertian yang sama "kebiasaan". Secara harafiah, moral dan etika menjadi dasar sistem manusia dalam berperilaku, dan diinstitusionalisasikan, dalam wujud adat kebiasaan yang turun temurun dalam kurun waktu yang lama.

Korelasi kedua pengeretian tersebut adalah moral bisa diumpamakan sebagai suprastruktur, sedangkan etika menjadi basis strukturnya. Seperti yang sudah diketahui, bahwa suprastruktur merupakan produk dari akumulasi basis struktur. 

Baca juga : Sakit gigi dengan segala macam problematikanya

Secara sederhana, moral terbentuk menjadi sebuah hukum ketika etika terakumulasi, kemudian moral menciptakan etika-etika individu. Seperti sabda karl marx, budaya melahirkan masyarakat, kemudian masyarakat memodifikasi budaya tersebut, dan melahirkan masyarakat yang baru.

Dalam konteks indonesia yang mempunyai banyak jenis kebudayaan, output moralitasnya pun akan bermacam-macam. Seperti kasus yang masih hangat. Baru-baru ini seorang guru bernama sabil fadhillah (34) dipecat lantaran dianggap tidak memiliki etika.

Berangkat dari komentar pak guru pada postingan pejabat publik (RK) di platform instagram. Isi komentarnya menggunakan bahasa sunda, yang kurang lebih  menanyakan posisi pejabat tersebut sebagai kader partai, gubernur, atau secara pribadi ketika menjadi pembicara di suatu acara virtual, yang ikuti guru dan murid salah satu SMP di Tasikmalaya.

Komentar yang di dasari asumsi bahwa kurang pantas jika ternyata melakukan politik praktis diwilayah pendidikan. Sebab pejabat tersebut merupakan kader salah satu partai politik. Dan kebetulan dalam acara tersebut mengenakan jas kuning, dimana menjadi warna partai terkait. 

Baca juga : MITOS

"Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi gubernur Jabar ato kader partai ato pribadi ???" tulis pak guru. Kemudian pejabat itu menyematkan komentar di bagian teratas kolom seraya membalasnya. "ceuk maneh kumaha?".

Dilaman komentar, beragam reaksi negatif pada pak guru karena dianggap kurang sopan  telah menggunakan diksi "maneh" dalam berkomentar. Akan tetapi, tak sedikit juga yang menuding RK anti kritik. Karena rupanya pejabat tersebut tersinggung dengan komentar pak guru. 

Begitu pemilik komentar diketahui sebagai seorang guru, RK kemudian mengirim pesan langsung ke akun lembaga tempat pak guru bekerja. Isi pesan berupa bukti screenshoot komentar pak guru. 

Jika dilihat dengan seksama, walaupun masih dalam satu kebudayaan, dan menggunakan bahasa yang sama, interpretasi dari diksi "maneh" menuai polemik. Sebagian budaya sunda menganggap diksi tersebut terbilang kasar jika digunakan di wilayah umum. Namun sebaliknya sebagiannya lagi menganggap diksi tersbut sopan.

Harusnya ada mediasi terlebih dahulu guna menyelesaikan masalah ini. Banyak yang menyayangkan sikap reaksioner RK sebagai tindakan impulsif. Pasalnya, dari fenomena tersbut sabil diberhentikan sebagai guru setelah lembaga tempat ia mengajar mendapat dm dari RK. Juga ada intruksi langsung dari disdik jawa barat yang menindaklanjuti perkara tersebut.

Meski komentarnya telah dihapus, jejak digitalnya masih beredar diberbagai media sosial. Serangan pribadi ke pak guru masif dilakukan para loyalis RK. Meskipun banyak juga yang membela pak guru. Bahkan ada yang menilai RK blunder dalam penyikapan, hingga kredibilitas sebagai pejabat publik menurun.

"kalau berkenaan dengan pemberhentian, harusnya melalui sidang etika profesi, intervensi pejabat tidak boleh mempengaruhi", ucap salah satu pengguna twitter.

Dalam klarifikasinya, beliau mengaku menghubungi sekolah tempat pak guru mengajar, dan baginda RK mengatakan harusnya tak perlu sampai diberhentikan. Namun masalah terlanjur menggurita. 

Terlepas dari polemik yang masih menjadi pembahasan, puji tuhan, banyak yang mengatakan bahwa data dapodik pak guru sudah dipulihkan. Mungkin banyaknya dukungan pada pak guru menjadi penyebabnya. 

Melihat fenomena diatas, berkaitan dengan moral dan etika, rupanya doksa feodal mampu menjadi hukum sosial. Seseorang yang berkuasa, dan mempunyai modalitas dan menguaasai arena mampu menjadi pemegang moral.



Au ahh cape, btw rokok mahal amat ya.


Oiya seperti biasa, koreksi yang keliru ya wankawan.

Aku Sayang Kalian ^_^

No comments:

Post a Comment