Wednesday, March 15, 2023

Individu Versus Everybadeh (Yang penting eksis dulu, lainya ahh gampang)

pict by : ppixabay-0fjd125gk87

Individu Versus Everybadeh (Yang penting eksis dulu, lainya ahh gampang)

Banyak yang menganggap bahwa apa yang terjadi pada kita saat ini adalah buah dari masa lalu. Seperti dalam teori psikologi milik Sigmund Freud, bahwa traumatik masa lalu sangat berpengaruh pada masa depan seseorang. Namun jika menggunakan kacamata Adler, dalam beberapa varietas mungkin iya, tapi tidak semuanya. 

Ketika menggunakan teori freud, hukum positivisme otomatis menghantui manusia. Manusia dikenal dengan sifatnya yang dinamis,  positivisme yang cenderung kaku dan statis agak kurang relevan jika digunakan membaca manusia.

Baca juga : Ada apa dengan cinta (manipulasi moralitas mengkontrukasi individu)

Positivistik mengekang manusia dalam kebebasan menentukan nasib mereka sendiri. Jika demikian, determinisme  semu akan menguasai manusia. Sebab menurut Adler, bayang-bayang masu lalu tidak boleh membatasi manusia dalam menentukan dimasa depan. 

Sederhananya, masa lalu adalah peristiwa, dan apa yang kita maknai atas peristiwa tergantung tujuan kita. Jika masalalu kelam dianggap penyebab sifat murung seseorang, adler mengatakan bahwa seseorang terebutlah yang memilih untuk bersikap murung. Maka dari itu, penting bagaimana membedakan antara peristiwa dan memaknai sebuah peristiwa.

Baca juga : Awalnya bingung, akhirnya makin bingung

Contoh lainnya adalah jika air didalam sumur yang selalu bersuhu 18 drajat, ketika diminum dimusim dingin maka terasa sedikit hangat. Akan tetapi jika diminum dimusim panas akan terasa menyegarkan. Air sumur bersuhu 18 drajat adalah contoh peristiwa (objektif). dan merasa hangat atau segar adalah interpretasi peristiwa (subjektif).

Teori psikologi adler mengajak kita supaya fokus pada apa yang bisa dilakukan. Tidak terikat pada apa yang sudah terjadi. Masa lalu hanya reerensi, bukan menjadi pengendali. Misalnya, jika seorang anak yang merasa bodoh sebab tak diberi biaya orangtuanya untuk menempuh pendidikan, maka seharusnya sang anak fokus pada apa yang bisa dilakukan. Toh pengetahuan tidak hanya ada dalam pendidikan formal. 

Baca juga : Homo homini lupus

Saya kira antara Adler dan Sartre punya tujuan yang sama. Sartre dalam Eksistensialismenya, berbicara mengenai kebebasan seseorang menentukan sikap untuk bertindak atas kemandirian pikirannya.

Tujuan dari pandangan filsafat eksistensialis manusia adalah jujur ​​pada diri sendiri dan melakukan apa yang menurut Anda tepat untuk diri sendiri, bukan hanya melakukan apa yang menurut orang lan pikirkan tentang kita.

Apa makna atas keberadaan kita ? apa yang harus kita lakukan dalam hidup? adakah rute tertentu untuk dapat memahami keberadaan manusia? apa yang membuat manusia merasa terasing didunia? 

Eksistensialisme hadir untuk meng-antitesakan determinisme. Sebab determinisme atau yang sering disebut fatalisme dan predestinasi, merupakan paham yang sangat berlawanan dengan eksistensialisme. 

Jika eksistensialisme cenderung bebas dan organik dalam memahami makna kehidupan, paham determinisme beranggapan bahwa dunia yang sedang berjalan dengan keharusan dan tak terelakkan. Lantas adakah jembatan yang menghubungakn antara eksistensi manusia dan eksistensi tuhan?

Sebentar, saya MUMET.

Semuanya bersifat penawaran. tidak ada determinasi. wkwk.



Yang lebih tahu, bagi dong.

Aku Sayang Kalian ^_^

No comments:

Post a Comment